source:telegraph.co.uk
Suara angin mengalir indah, menjamah tengkuk-tengkuk manusia, meraba seluruh tubuh yang menggelepar asyik merasa udara, suara itu kemudian memberikan saripatinya akan ketenangan jiwa. Siang itu, angin berhembus dengan tenang, memberikan perasaan damai disetiap hati manusia. Pohon-pohon….pun tiada bergoyang dihempas angin yang begitu lemahnya rumput-rumput enggan bercengkrama dengan bunga-bungaaan. Semua hening diam tak bergerak. Kini hanya ada suara Rusa, Domba, dan Cheetah yang Nampak mendengus menunggu mangsa, si rumput yang ta kunjung menghijau. Kuning dan kering, terlalu lama diterkam cahaya matahari hingga kehilangan daya tariknya. Disini, memang selalu seperti itu. Padang savana yang ditumbuhi rumput setengah kering, dengan daya serap air yang rendah dan curah hujan yang rendah pula.
Domba-dombapun bingung, apakah gerangan yang akan mereka makan jika semua rumput menguning? Terpaksa merekapun makan rumput kering, mungkin mereka berpikir daripada tidak makan sama sekali, lebih baik makan saja yang ada didepan mata. Hah, entah sampai kapan keadaan akan terus seperti ini,. Sudah setengah tahun, hujan tak kunjung datang. Padahal penghormatan dan pemberian korban sudah dilakukan. Kemana dewa hujan pergi? Akankah ia lupa, pada daerah yang satu ini? Daerah yang sedikit terjamah manusia? Daerah yang jika dijamah hujan akan menjadi surga dunia?
Pemikiran itu terus meloncat-loncat dibenak Mumu. Sembari duduk disebuah pohon jambu mente, ia terus menerawang, memikirkan bagaimana caranya mendatangkan hujan. Ia terus berpikir hingga lupa pada domba-domba gembalanya. Tak apalah, berpikir mendatangkan hujan buatnya lebih penting, dibanding menjaga 10 dombanya. Lagipula mau kemana domba itu pergi? Paling hanya ke hutan. Dan Mumu sudah hapal betul seluruh wilayah negerinya itu.
Sudah cukup bagi Mumu berpikir. Ia mesti bertindak, mesti melakukan sesuatu pada dewa hujan dan dewa langit, mungkin satu pengorbanan lagi bisa membuka mata dewa bahwa ia betul-betul membutuhkan hujan. Lama berpikir mebuatnya lupa pada domba-dombanya, ia cari kesegala penjuru hutan. Terus masuk hinga menuju puncak, namun domba-domba itu tak terlihat. Mumu masih merasa santai, karena ia percaya dombanya tak kan celaka, ia memiliki dewi fortuna yang akan menyelamatkan gembalanya itu dari marabahaya.
Senja tiba, namun domba-dombanya tak kunjung terlihat, Mumu mulai panik. Apalah jadinya jika kedua orangtuanya dengar,jika 10 dombanya menghiilang. Apa yang akan dia katakan? Mungkin berbohong saja, katakan saja tadi sewaktu menggembala, dewa langit datang dan meminta pengorbanan agar hujan segera datang, jika 10 dombanya kembali, ya katakana saja, dewa langit memang pemurah, hingga pengorbanan pun dikembalikan. “Iyah, aku akan berkata seperti itu”. Dengan langkah besarnya, Mumu kembali ke rumah.
“Mumu dimana dombamu?”
“Aku persembahkan untuk dewa langit, mungkin saja dengan begitu hujan akan turun”
“Benarkah?”
“Benar . Ayah aku tak mungkin berbohong!”
3 kali sudah fajar menyingsing, namun hujan yang dijanjikan Mumu tak kunjung datang. Seluruh warga kampung resah bukan main. 10 ekor domba teryata masih kurang memuaskan dewa langit dan dewa hujan. Apakah karena domba-dombanya yang berkualitas buruk?Ataukah karena domba-domba itu memang tak cukup memuaskan perut sang dewa?
“Mumu, mungkin ke-10 dombamu itu tak cukup untuk menghilangkan rasa lapar dewa langit”
“Mungkin”
“Lalu bagaimana ini? Apakah kami mesti berkurban lagi?”
“Mungkin”
“Apakah jumlah kurban kami harus lebih banyak darimu?”
“Mungkin”
Di senja yang ketiga, warga digegerkan dengan kembalinya ke-10 domba Mumu. Warga kampung sebelah mengantarkan domba-domba itu, mereka bilang , domba-domba itu ditemukan tengah memakan rumput-rumput di perbatasan kampung.
“Mumu bohong!”
“Dia bilang dia telah mengorbankan domba-dombanya untuk dewa langit”
“Mungkin karena itulah dewa-dewa marah, dan tidak mau menurunkan hujan”
“Mumu hanya kehilangan dombanya, bukan mengurbankan dombanya”
“Dia membohongi kita semua atas nama dewa-dewa”
“Dewa-dewa akan murka”
“Dewa akan menghukum kampung kita”
“Mumu telah melecehkan para dewa”
“Ayo kita cari dia dan bawa dia ketempat pengurbanan, kita jadikan saja dia kurban”
“Iya, mungkin dengan begitu dewa-dewa akan memaafkan kita”
Senja sudah tak terlihat, warnanya yang kuning keemasan telah hilang, digantikan kegelapan malam dengan langit abu-abunya. Di tengah pekatnya malam dan desiran angin yang lembut, api obor menyala-nyala, mencari manusia. 10, 20 bahkan mungkin 70 orang kini membawa obor, sudah seperti pasukan ORC dalam film Lord Of The Rings yang bersiap-siap membantai para manusia. Tak hanya obor, arit, pisau kampak dan benda-benda tajam lain tak luput dari bawaan. Satu nama yang mereka teriakan
“Mumu, dimana kau? Karenamu desa kami kena kutukan para dewa, kau telah melecehkan para dewa”
“Mumu keluarlah dari ketiak ayahmu, hadapi kami, jangan sembunyi”
“Mumu bertanggungjawablah atas apa yang kau perbuat, korbankan dirimu untuk kesalahanmu”
Teriakan warga kampung tak juga membuat Mumu keluar dari rumahnya. Hanya sang ayah yang menyembulkan kepalanya dari balik jendela …..(rumah adat).
“Anakku belum kembali, kalian bisa mencarinya ditengah hutan”
Rombongan orang beringas itupun meneruskan perjalanan menuju hutan. Hutan yang dipenuhi cheetah, rusa, harimau dan ular. Dengan mata berkelabat dan mengawas, mereka terus mencari Mumu, berkoar-koar meneriakkan namanya. Tua muda, laki-laki, wanita. Semuanya mengerang, meneriakan nama Mumu. Namun yang diteriaki tak kunjung muncul. Rombongan sudah mencapai tengah hutan, namun tak ada tanda-tanda keberadaan Mumu. Tak lelah mencari, merea terus melesak menuju puncak.
Harimau dan ular derik yang terkenal ganas, begidik ketakutan melihat puluhan manusia bermata merah membawa obor. Ngeri melihat parang, tombak, kampak bahkan clurit tergenggam erat dalam setiap tangan. Bahkan bocah berumur 5 tahun pun memegang clurit!, dengan amarahnya saja, para rombongan ini mampu membakar hutan dalam sekajap. Dewa-dewapun mungkin akan ciut nyalinya jika melihat bagaimana kebringasan kawanan manusia yang tengah mengejar manusia ini.
source:wallpaperup.com
Terengah-enga ia berlari, menghindari deru telapak kaki manusia. Tak sanggup rasanya ia kembali berlari. Kakinya sudah cukup lelah, badannya menggigil dehidrasi, kulitnya memerah karena gigitan nyamuk hutan. Perutnya perih menahan lapar. Mumu tergolek dibawah pohon, menghela napas, sembari berpikir kemana lagi ia harus melarikan diri dari kejaran warga kampung. Tak mungkin lagi baginya berlari. Ia sudah ada dipuncak, jikapun turun ke bawah ia pasti tertangkap basah. Hilang akal! Ia telah melecehkan dewa! Ia pantas dilaknat! Ia bahkan berbohong atas nama dewa! Ia harus berkurban!
Tapi dihutan seperti ini, mau berkurban apa? Mencari makanpun ia tak mampu. Ular, harimau, rusa, cheetah bahkan tikus hutan sekalipun takut mendekatinya. Takut terkutuk jika mendekatinya. Dosanya sudah teralu besar. Berbohong atas nama dewa! Bahkan binatangpun takut untuk menyebut nama para dewa. Cacing-cacing dalam tanah, terus juga menghindari Mumu, berusaha lari menjauhinya, takut akan kutukan dewa. Mumu memang terkutuk, jiwa dan raganya sudah dikutuk. Apalah lagi yang bisa dia kurbankan, hanya tubuhnya sendiri mungkin yang bisa mejadi kurban
“Baiklah akan kupersembahkan rambutku untuk dewa petir. Ia akan membuat petir yang maha dasyat untuk menghalau warga ke puncak gunung”
Perlahan dengan pisau lipatnya, ia mencukur habis rambut di kepalanya, menguburnya dalam tanah. Beberapa saat ia menunggu, dan tak ada yang terjadi, dewa petir tak menerima perrsembahannya. Dewa petir tak datang ke tempatnya. Dan suara nyaring memanggil manggil namanya Nampak makin terdengar jelas. Kalap, Mumu mencoba peruntungan lain
“Mungiin aku harus meminta bantuan kepada dewa angin, untuk membuat angin yang besar yang bisa merobohkan pohon-pohon dihutan dan memaksa warga kembali ke kampung. Tapi apa yang akan ku kurbankan? Ah mungkin kuku kakiku masih berharga!”
Masih dengan pisau lipatnya, Mumu mencoba mencabut kuku-kuku kakinya yang bau dan kotor itu. Darah mulai menetes, saat Mumu menyayat sendiri kakinya, mecoba melepaskan kuku dari jari kakinya. Perih dan sakit tak tertahankan coba ia redam, demi sebuah keselamtan dari dewa angin. Ia kemudian mengubur ke 10 kuku kakinya ditempat yang sama ia mengubur rambutnya. Namun tak terjadi apapun, lagi-lagi dewa angin pun enggan menerima pengurbanannya. Darah masih juga menetes dari kakinya.
Rasa takut akan sabetan clurit warga, membuat Mumu makin tak gentar kehilangan anggota tubuhnya. Merasa kuku kaki tak cukup berharga, kemudian ia mulai memotong jari-jari kaki kirinya. Dimulai dengan jari kelingking, kemudian jari manis yang sekarang terasa bgitu ahit, dilanjutkan dengan jari tengah yang paling panjang, lalu jari telunjuk dan yang terakhir jari jempol. Sudah seperti anak cacat saja, tak punya jari! Tapi tak mengapa, rasa sakit itu akan terbayar dengan keselamatan yang akan dewa angin berikan. Tapi apa daya, dewa angin keukeuh tak mau menerima pengurbanannya.
Suara-suara warga kampung makin nyaring. Tak mungkin lagi, Mumu mengelak. Ia mesti meminta perlindungan dari dewa lain. Dewa yang mungkin membelanya. Tapi siapakah dia, hampir tak mungkin ada. Kini ia mencoba peruntungan pada dewa langit. Dewa yang namanya telah ia jual pada warga kampung, supaya tak dimarahi ayahnya karena telah gagal menggembala. Tapi ia tak peduli, mungkin dengan kurban raganya, dewa langit akan memaafkan kesalahnnya dan bersedia menolong. Tapi apalagi yang mesti dikurbankan? Kaki? Dia masih membutuhkannya untuk berlari, Kepala? Ia masih ingin melihat indahnya padang savana. Perut? Ia masih ingin merasakan nikmatnya rasa kenyang. Ah mungkin hanya tangan yang maasih bisa dikurbankan. Yah tangan kiri mungkin cukup membuat dewa langit senang.
“Tangan kiriku mungkin masih berharga untuk dewa langit!”
Masih dengan pisau yang sama, Mumu mencoba memotong tangannya sendiri. Ia pandang lengannya baik-baik, teringat akan kesetiannya membantu menggembala kambing. Ingat akan rabaannya yang mampu mengantarkan sensasi ke otak. Namun keadaan mendesaknya untuk tak mengingat kenangan-kenangan indah dengan tangan kirinya itu. Lengan tangan kirinya itu, kemudian berpegangan pada tangkai pohon, sangat erat, hingga ia tak merasa tengah menggenggam sesuatu. Perlahan ia mulai menyayat kuit arinya. Menyayat terus menyayat, sampai dagingnya tersobek dan menyembul keluar. Setelah setengah jalan, Mumu terhenti, dia menjerit! Jeritannya keras, sangat keras, bahkan terdengar hingga seluruh negeri. Membangunkan seluruh manusia yang tengah lelah tertidur. Jeritannya membuat orang-orang begidik. Jeritannya seperti jeritan kematian, menyayat hati! Warga yang memburu pun berhenti berjalan. Mencoba mendengar suara jeritan. Mereka takut!
“Kutukan dewa sampai puncaknya!”
“Dewa benar-benar murka!”
“Itu suara panggilan kematian”
“Itu pasti suara dewa kematian”
Takut akan hukuman dewa, mereka putusakan untuk kembali ke rumah. Terlalu takut dengan jeritan kematian. Terlalu takut dengan pekatnya malam. Mereka putuskan untuk mencari Mumu esok hari, saat fajar mulai nampak.
Mumu tergolek lemah tak berdaya, dia sakit, dia benar-benar sakit. Tapi rasa sakit itu sudah tak dirasainya lagi. Sudah tenang jiwanya mengetahui pengejaran terhadapnya akhirnya dihentikan “Terimakasih dewa langit, kau telah berikan keselamatan padaku”
Dengan bersimbah darah, Mumu coba meraih potongan tangannya, menguburkannya dalam tanah tempat sebelumnya ia menguburkan rambut, jari dan kuku kakinya. Darah terus menetes tanpa henti, hingga pohon-pohon pun takut melihatnya. Darah Mumu mengalir terus membanjiri padang rumput, sungai bahkan hutanpun digenangi oleh darahnya. Darah segar yang khusus dipersembahkan untuk para dewa. Darah segar sebagai ganti atas kebohongan yang telah dia buat atas penghinaan terhadap yang sakral. Masih saja Mumu berucap terimakasih pada para dewa yang sudah membuatnya kehilangan sebelah raga. Mungkin sesaat lagi jiwanyapun akan ikut terkubur bersama lengan kirinya. Dalam ketidaksadarannya ia terus berucap terimkasih.